“OPERASI CAHAYA HITAM”
Hujan pasir turun seperti abu halus dari langit kelabu kota Ravash, sebuah distrik di Gaza dunia alternatif yang berubah menjadi labirin reruntuhan dan lorong-lorong remang. Suara angin membawa bau kabel terbakar, semen retak, dan debu yang sudah lama bercampur dengan keputusasaan.
Di tengah kabut itu, Tim Banteng Garuda, pasukan elit TNI versi dunia alternatif, melangkah menyusuri koridor yang hampir runtuh. Mereka bergerak tanpa suara, hanya deru napas teratur yang terdengar dari balik helm.
Kapten Arjuna Bramantyo, komandan tim, menatap tablet holografik kecil. “Lokasi target ada di bawah tanah bangunan bekas rumah sakit ini. 31 warga sipil terjebak setelah tangki air pecah dan menutup akses keluar.”
Serka Dina, ahli demolisi dan breacher terbaik tim, mengangkat alis. “Tantangannya bukan menyelamatkan mereka, Komandan. Tantangannya adalah semua pasukan lokal dan asing menganggap tempat ini zona konflik.”
Arjuna menatap reruntuhan hospital itu, yang kini lebih mirip monumen perang ketimbang bangunan medis. “Misi kita jelas. Tidak peduli siapa berada di sekitar sini — kita evakuasi mereka.”
Belum sempat mereka masuk ke lobinya yang remuk, suara langkah cepat terdengar di koridor samping. Teknis. Terlatih. Tidak sporadis seperti kelompok lokal.
Sersan Pandu menunduk dan berbisik, “Kontak profesional, arah barat.”
Kapten Arjuna menggerakkan tangan, memberi sinyal diam.
Dan dari balik pilar runtuh muncul Unit Rubah Perak, satuan tempur IDF versi dunia alternatif, bergerak dalam formasi ketat. Pemimpinnya, Mayor Eitan Voss, menodongkan lampu taktis ke arah tim Garuda.
“Identify yourselves.”
Arjuna menurunkan senjata sedikit, menunjukkan emblem kemanusiaan. “Tim Banteng Garuda. Misi evakuasi sipil.”
Eitan tidak menurunkan senjatanya. “Kami mengejar kelompok penyandera yang diyakini masuk ke bangunan ini.”
“Tidak ada penyandera,” balas Arjuna. “Yang ada hanya warga yang terperangkap dan butuh pertolongan.”
Ketegangan merayap seperti pecahan kaca.
Namun saat atmosfir hampir pecah, suara gemuruh keras mengguncang tanah.
GRRRROOOAAAARRR!
Seluruh lantai bangunan bergetar. Sebagian struktur rumah sakit runtuh ke bawah tanah.
Dina menatap ngeri. “Itu ruang bawah tanah! Mereka terperangkap di ruang yang sudah setengah tenggelam!”
Arjuna menatap Eitan. “Jika kita tidak bergerak sekarang, mereka mati.”
Eitan terdiam sesaat… lalu mematikan lampu taktisnya.
“Kami ikut. Tapi jalur kiri dan kanan harus aman.”
Arjuna mengangguk. “Kita masuk bersama.”
Masuk ke bangunan runtuh itu seperti memasuki perut raksasa tua yang sedang mengerang. Potongan beton menggantung dari langit-langit. Kabel listrik berayun. Air menetes dari pipa pecah.
Bunyi jeritan samar terdengar dari bawah tanah.
“Komandan! Pindai menunjukkan ruang bawah tanah terendam setengah meter. Oksigen menipis,” lapor Pandu.
Dina mengatur peledak kecil untuk membuka jalur.
Eitan memperhatikan tekniknya. “Presisi bagus.”
“Jangan ganggu aku,” bisik Dina tanpa menoleh.
BOOM.
Ledakan kecil, terkontrol, membuka celah menuju ruang bawah tanah.
Bau lembap bercampur logam menyambut mereka.
Di ruang bawah tanah, 31 warga sipil berkumpul — beberapa terluka, sebagian lemah, sebagian lain berusaha menjaga anak-anak tetap tenang. Air mencapai lutut.
Begitu tim gabungan Garuda dan Rubah Perak masuk, warga menangis lega.
“Kami datang untuk membantu!” seru Arjuna.
Namun baru beberapa langkah mereka mengevakuasi warga, suara lain terdengar dari atas:
TAP… TAP… TAP…
Langkah kaki cepat. Banyak.
Giliran Eitan tegang. “Kelompok penyandera… mereka kembali.”
Arjuna memandang tangga runtuh. “Mereka ingin masuk ke sini?”
“Tidak,” jawab Eitan. “Mereka ingin memastikan kita tidak keluar.”
Tembakan mulai menghantam tanah di sekitar lubang masuk. Debu berjatuhan. Beton retak.
Arjuna berteriak, “Formasi defensif! Evakuasi warga di jalur timur!”
Garuda membentuk perisai manusia di depan warga, sementara Rubah Perak menahan tembakan dari atas dengan presisi tinggi.
Tembakan memantul dari pilar. Air di bawah kaki mereka beriak. Anak-anak menangis. Warga berteriak.
“Komandan!” panggil Dina. “Jalur timur hampir terbuka, saya butuh satu menit!”
“Kami cover!” teriak Pandu.
Eitan menembak ke arah lubang runtuhan, memaksa musuh mundur sejenak. “Mereka punya granat! Mereka akan lempar!”
Arjuna cepat mengangkat tameng balistik dan menutup bagian atas, tepat ketika granat jatuh.
BOOM!
Getaran keras membuat setengah langit-langit roboh. Tapi tameng itu menahan sebagian besar ledakan.
“Kita harus keluar sekarang!” kata Arjuna.
Jalur timur akhirnya terbuka. Cahaya samar masuk dari koridor rusak.
“Semua warga lewat sini!” seru Dina.
Warga bergegas keluar satu per satu, dibantu Garuda dan Rubah Perak.
Namun musuh tetap menekan. Mereka menuruni puing dengan cepat, seperti bayangan gelap.
Pandu menembak. Eitan menembak. Serangan musuh patah, tetapi jumlah mereka terus bertambah.
Ketika warga terakhir keluar, air di ruangan mulai naik.
Arjuna memberi aba-aba. “Rubah Perak! Garuda! Kita angkat orang-orang ini pergi sekarang!”
Kedua unit itu mundur sambil terus menembak, menjaga warga hingga mereka mencapai jalan luar rumah sakit.
Saat mereka tiba di permukaan, kendaraan evakuasi internasional sudah menunggu.
Warga masuk dengan cepat, disambut tim medis.
Suara tembakan masih berlanjut di belakang mereka — tetapi mereka berhasil.
Ketika kendaraan terakhir berangkat, Arjuna dan Eitan berdiri di antara reruntuhan.
“Kita bertarung di sisi yang berbeda,” kata Eitan sambil membenarkan helmnya, “tapi malam ini… kita bertarung untuk hal yang sama.”
Arjuna menghela napas. “Nyawa manusia.”
Eitan mengulurkan tangan. Arjuna menyambutnya, erat, singkat, tanpa kata lain.
Keduanya lalu berbalik, membawa pasukan masing-masing pergi ke arah berbeda — kembali ke dunia yang rumit, namun malam itu mereka telah menyelamatkan 31 jiwa.
Dan itu cukup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar